Selasa, 27 April 2010

Undangan Sweet Seventeen


Ini Tugas Undangan Sweet Seventeen byfRaNz. Tugas ini diberi by.p'Fjar Gumilang, smoga dengan foto tmend w bsa membuat pak Fajar luluh. ^o^..jayus... yang penting w udah da masking en text effect..

TUGAS 1 Photoshop

Jumat, 09 April 2010

Masih Melekat

Tak bisa ku melupakanmu,
Wajahmu selalu melekat dalam otakku,
Tak bisa aku jauh darimu,
Karena hatimu sudah lama melekat di hatiku,

Berbagai cerita ku denganmu,
Berbagai keluh kesah ku denganmu,
Berbagai kenangan cinta ku denganmu,
Semua itu masih melekat
Dan mungkin tak bisa hilang,

Ingin rasanya rasa ini pergi jauh,
Aku tak ingin melukainya lagi.

By: Franz, 9 April 2010

Dirimu

Matamu yang membuatku tak berpaling,
Senyummu membuatku tersenyum,
Wajahmu membuatku
Tak bisa lupakanmu,

Kaulah satu-satunya,
Yang membuatku menjadi beda,
Tak seperti biasanya,

Kau yang membuatku terbang
Setiap harinya,
Mungkin akan selamanya
Dan ku akan mengajakmu.

By: Franz, 9 April 2010

Mengalir

Mengapa perasaan ini masih ada padaku?
Bahwa aku masih mencintainya,
Padahal aku telah mencoba untuk lupakannya,
Sudah berulang kali ku coba lupakannya,
Tapi…
Cinta itu masih ada padaku,
Aku ingin segera melupakannya,
Hanya itu yang aku mau,
Cuma itu,

Lelah aku,
Bingung tak menentu,
Dan masih saja dia bias membuatku
Selalu tersenyum,
Biarkanlah ini mengalir adanya,
Karena hati ini yang memilih.

By: Franz, 9 April 2010

Asal

Kau tahu yang kurasakan?
Kau tahu yang kuinginkan?
Kau tahu yang aku benci?
Tidak sepenuhnya kau tahu,

Hanya Tuhan yang tahu semua dariku,
Kau.. kau cuma bisa menebak saja,
Tak bisa dengan pasti menjawab,

Kau kira kau siapa?
Orang pintar? orang terkaya?
atau orang tak tahu diri?
Sungguh sulit hidupku denganmu,
Penuh olokan dan mulut manis.

By: Franz, 7 April 2010

Selasa, 06 April 2010

Benar Cinta

Kamu bisa mengubah hatiku
Menjadi lebih baik dan baik,
Kamu bisa mengubah semua ini
Menjadi lebih baik kembali,

Sekarang aku tahu,
Jika kamu benar cintaku,
Karena kamu selalu membuatku
Tersenyum dan membuatku bahagia,

Satu kata yang ingin ku ucapkan padamu,
Hanya satu kata yang terlintas untukmu,
Yaitu CINTA

Kini, sekarang, dan selamanya,
Aku tidak akan pernah berhenti memikirkanmu,
Dan aku tidak akan pernah melupakanmu,
Kau akan selalu dan selalu di hatiku.

By: Franz, 5 April 2010

Perih

Semua jalan tertutup olehmu,
Tak ada jalan yang terbuka lagi,
Karena kau telah menyakiti hati ini,
Hingga ku tak bisa mencintai yang lain,

Sakit rasanya saat itu,
Katamu menusuk hatiku,
Seakan-akan diriku tak berkutik sama sekali,
Jatuh di hadapanmu,

Wajahmu terlihat biasa,
Kau tak perduli denganku,
Wajahku terlihat sakit,
Kau tak perduli denganku,

Perih… perih..
Perih.. hati ini..

By: Franz, 20 Feb 2010

Masih Saja

Entah kenapa,
Aku bisa suka padamu,
Entah kenapa,
Aku ingin dekat denganmu,

Selalu saja aku ingin di sampingmu,
Bersamamu, berbicara denganmu
Matamu itu yang membuatku jatuh hati,
Bukan hanya itu, kebaikanmu juga,

Masih saja kau buatku tak bisa tidur,
Ingat terus denganmu,
Inginku langsung ungkapkan hatiku ini,
Bahwa aku mencintaimu,

Terus dan terus,
Kau bisa membuatku melayang,
Terus dan terus,
Aku bisa terbang karenamu,

Tak peduli apa kata orang nanti,
Aku hanya ingin denganmu, hanya itu,
Inginku jalani hidup penuh cinta denganmu,
Bahagia rasanya, sungguh tak terkecuali.

By: Franz, 20 Feb 2010

Tak Sanggup

Cinta ini membuatku bingung,
Kau selalu mengaturku dengan berlebihan,
Ku tak sanggup jalani ini semua,
Hanya ocehan yang kamu beri untukku,
Aku bosan dengan semua ini,
Kau tak pernah rasakan ini semua,
Kau tak tahu sakitnya aku,
Ketika kau memperlakukanku itu semua,
Sungguh ku tak sanggup..

By: Franz, 13 Jan 2010

Hanya Kamu

Tak ada kata yang lain selain namamu,
Hanya kamu yang aku fikirkan,
Sebelum ku beranjak tidur,
Hanya kamu yang aku ingat,
Setiap aku ingin beraktivitas,
Hanya kamu..
Cuma kamu..
Tak bosan-bosannya ku mengucap
Namamu dalam hati,
Setiap malam hanya kamu,
Setiap mimipiku hanya ada kamu,
Tak ada yang lain,
Hanya kamu..
Hanya namamu..


By: Franz, 13 Jan 2010

Senin, 05 April 2010

Derita Sang Ratu Sexy, Fira


Pagi sudah mulai. Sekarang waktunya Fira untuk berangkat school. Bangun tidur, mandi, berpakaian, sarapan, pamitan, berangkat cuy.
Sesampai Fira di sekolah, dengan lebainya dia mulai mempertunjukkan kesexyannya. Dan hebohnya sang cowok-cowok hanya tertuju pada Fira Sang Ratu Sexy di sekolahnya.
“Hai.. Vi!!” sapanya dengan girang pada sahabat sekaligus tempat curhat dan pelampiasannya Fira.
“Gimana Fir seru kan konsernya semalem?”
“Ih seru banget gila! Udah gitu disitu ada Naga Lyla abang gue!” girangnya heboh sampai-sampai Naga Lyla dibilang abangnya lagi. Ya gitu sih karena baru pertama kali Fira ketemu artis.
“Lebai ah lo! Gue aja ketemu artis gak segitu hebohnya,” ejek Vivi. Lalu dengan kompak Vivi dan Fira memasuki kelas.
“Vi, ke kantin yuk!” ajak Fira dengan rayuannya itu.
“Ah, ke kantin melulu loh! Tapi gue aneh kok elo gak gendut-gendut?!”
“Yang namanya langsing tetep aja langsing. Udah yuk!” Fira sudah siap ke kantin tapi Vivi masih duduk.
“Ke perpus aja yuk!”
“Ngapain lagi ke perpus? Baca? Oh no!!”
“Ya enggak lah! Kita internetan.”
“Buka apa?”
“Fs kek! Atau Fb gitu!”
“Tapi ke kantin dulu beli cemilan.”
“Perpus aja! Jajan bisa entar istirahat!”
“Udah ayuk!”
Ketika mereka sedang berdebat dengan hebohnya, bel masuk berbunyi dengan nyaringnya dan terpaksa yang satu gak jadi ke kantin dan satunya lagi gak ke perpus. Hehe..

***

Bel pulang sekolah berbunyi. Tak terasa waktunya go home. Sempat-sempatnya saat pulang sekolah Fira bedakan sebentar. Tapi saat anak-anak dan guru sudah keluar kelas.
“OMG.. Fira cintaku, sayangku bunga bangkai. Bedakan melulu?!” heran Vivi melihat sahabatnya yang super-super centil, genit, dan menggoda itu.
“Kebiasaan lu ngomong gitu. Bunga melati dong sekali-kali!” pintanya sambil mengecek bedaknya itu sudah sempurna atau belum lewat cerminnya.
“Orang mati dong lo!” tertawa Vivi.
“Vivi!! Kalo gitu bunga mawar merah yang batangnya tak berduri tapi halus batangnya,” mulai deh lebai dengan dirinya sendiri.
“Ayok cepetan! Jangan bedakan melulu! Katanya mau pergi!” Vivi mengingatkan.
“Oh iya I forget! Sorry! Come on my plend!” langsung deh dia ingat. Dengan buru-burunya dia keluar kelas lalu keluar sekolah.
Tak lama kemudian Vivi dan Fira sampai di rumah Pak Jojo Sudrajat ayah dari Sang Ratu Sexy, Fira.
“Mama… Cantik pulang!” sapa Fira pada mama tercinta dan tersayangnya.
“Anak mama udah pulang. Eh ada Vivi juga!” cipika cipiki deh sang mama dan sang anak. Vivi pun juga ikutan. “Pada mau makan atau minum gak?” lanjut mama bertanya.
“Gak deh mah! Lagi buru-buru!” tolak Fira memelas.
“Ya udah sana. Mama gak bakal ganggu cantik yang sedang berburu. Entar gagal lagi.”
“Buru-buru tante, bukan berburu,” ucap Vivi dengan pengucapan yang jelas. Memang Mama Fira rada error.
“Ya udah sana!” Fira dan Vivi pun pergi kelantai atas dimana kamar Fira terdapat.
“Fira kok elo lebai banget sih! Kan kita rencananya cuma biasa doang?!” bingung Vivi melihat Fira mengeluarkan semua bajunya untuk mencocokkan yang mana yang cantik dilihat cowok-cowok nanti.
Kan kita mau shopping, jadinya harus pakai baju yang bagus atuh biar dilihat cowok aku tuh beautiful!”
“Siapa yang mau shopping? Kan elo cuma nemenin gue beliin kado ultah buat Rangga.”
“Bukannya shopping?!” bingung Fira.
“Bukan. Makanya waktu istirahat gue ngomong dengerin jangan makan melulu yang diperhatiin. Sampai lebai gitu!” sindir Vivi.
“Udah ah kita nyarinya di mall aja sekalian shopping!”
“Ya, udah cepetan!”
“Nih gue pinjemin baju! Entar dicurigain lagi sama Pak Satpam, your father kalo kita enggak sekolah alias bolos.”
“Enak aja Bapak gue dibilang Pak Satpam!”
“Udah sana pake bajunya!”
Vivi pun memakai baju pinjaman Fira lalu mereka pamit dengan sopan, pergi naik taksi dan gak begitu lama, finally mereka sampai di mall.
“Vi, kita beli baju and sepatu dulu yuk! Habis itu main di time zone, terus makan, anterin gue beli CD and novel, baru gue anterin elo beli kado buat yayang lo si Rangga itu!” ternyata Fira sudah mengatur jadwalnya ketika berada di mall.
Vivi hanya tersenyum paksa karena susah kalau nolak permintaan Fira. Bisa-bisa rubuh tuh mall.
1,2,3, sampai 4 pasang baju Fira beli.
“Nih Mba! Semuanya berapa? Sama yang punya temenku ya Mba.” Fira memberikan baju-baju itu ke kasirnya.
“423 ribu dek!”
Fira pun memberi uang yang harus dia bayar.
Lanjut ke sepatu. Fira hanya membeli 1 pasang. Memang sih sepatunya sudah bejibun di rumah daripada pakaiannya. Lanjut lagi mereka ke tempat time zone.
“Vi naik Aladin yuk!” ajak Fira.
“Elo aja deh!” tolak Vivi.
Dengan hebohnya Fira bermain semua permainan apalagi permainan mengambil boneka. Hingga 15 kali dia coba berulang-kali tapi hanya dapat 2 boneka saja! Dan akhirnya mereka makan.
“Waduh Vi udah gak sabar nih pengen makan!”
“Kebiasaan!!”
Ketika makanan datang, Fira langsung makan dengan lahapnya Fira tapi enggak seperti orang yang belum pernah makan enak. Biasa aja gitu.
“Ufh.. kenyang juga. Ayuk Vi kita lanjut ke toko CD!”
Vivi hanya menghela nafas saja.
Sesampainya di toko CD, dengan kenyangnya Fira membeli 10 CD sekaligus. Biasa kalau udah kalap memang seperti itu. Sama seperti ke toko gramedia dia membeli 5 novel. Tadinya sih pengen 10 juga. karena Vivi mengingatkan jangan boros ya jadi beli 5 aja.
“Udah puas kan lo belanjanya?” lelah Vivi melihat sahabatnya itu yang super boros juga.
“Puas banget. Oh iya ayok kita beli kado buat yayang lo!”
Sesampainya disuatu tempat yaitu toko khusus hadiah, Vivi menemukan barang yang cocok buat Rangga. Dan tak terasa sesampai di luar mall sudah maghrib. Untungnya sesampai di rumah gak terlalu larut malam.

***
Pagi datang lagi. Fira pun bangun dari mimpinya yang indah semalam.
“Hoam.. udah pagi nih!” rasa kantuk Fira masih melekat di badan Fira. Lalu Fira mengambil handuk untuk mandi.
Tak lama kemudian Fira sudah selesai mandi dan berpakaian. Ketika Fira ingin menyisir rambutnya.
“Aaa..!!!” teriak Fira dengan kencangnya hingga terdengar sampai bawah.
Ada apa Cantik?” tiba-tiba Mama datang dengan muka panik.
“Mamah. Wajahku ada ini!” tangis Fira lalu menunjukkan apa yang terjadi dengan wajahnya.
“Ya ampun Cantik! Kok bisa begini?!” bingung Mama melihat betapa banyaknya jerawat yang melekat di wajah Fira.
“Mamah gimana nanti di sekolah? Apa kata temen-temenku nanti?” bingung Fira.
“Udah entar hilang sendiri kok! Tapi jangan kamu pencet-pencet jerawatnya! Nanti malah tambah banyak.”
“Mah..”
“Udah berangkat aja! Biarin orang ngatain kamu. Kamu tetep cantik kok di mata Mama.”
“Tapi Mah!” dengan terpaksa Fira berangkat sekolah dengan rasa malu yang super dahsyat.
Sesampainya di sekolah, Fira bingung harus lari atau jalan.
“Aduh!! Gimana ya?!” bingung Fira. Lalu Fira memilih untuk jalan sambil menunduk.
Selama Fira jalan dengan kepala menunduk, anak-anak heran karena Fira gak seperti biasanya soalnya Fira itu kalau datang ke sekolah selalu nunjukkin kesexyannya itu. Karena Fira jalan terus menunduk hanya melihat lantai saja tak disangka Fira ditabrak Bayu yang sedang larian-larian. Seperti anak kecil saja!
“Aduh!! Jalan liat-liat dong!” rintih Fira lalu memebersihkan kakinya yang putih langsat itu.
“Sorry Fir! Sorry! Gue lagi dikejar Bobby tuh!” Bayu hanya bisa minta maaf tak membantu Fira untuk berdiri.
“Ketemu loh! Sini!” Bobby mulai datang tambah bikin Fira kesal.
“Ah! Gara-gara kalian nih kai gue jadi kotor kayak begini!” kesal Fira dan Fira tak sadar Fira mengangkat kepalannya.
“Fira! Elo jerawatan? Hahaha.. pantes elo gak heboh kkayak biasanya,” Bobby hanya tertawa. Bayu pun ikut pula sampai-sampai anak-anak melihat apa yang terjadi pada Fira.
Semakin lama semakin banyak tawa anak-anak hingga Fira ingin nangis, marah, kesal tapi Vivi datang untuk menolong Fira. Lalu menariknya sampai kelas.
“Tuh kan bener firasat gue. Elo bakal begini jadinya!”
“Jadi elo tau? Elo bisa ngeramal, Vi? Ramal gue dong!”
“Lo kira gue Mama Loren. Gue certain nih ya! Kemaren setelah pulang dari beli kado buat Rangga, gue baru nyadar…”
“Nyadar apa? Kalau gue dilihat cowok?” belum selesai bicara Fira sudah memotong pembicaraan Vivi. Sampai lebai gitu.
“Elo diem dulu! Sampai mana tadi tuh?” lupalah Vivi karena si Fira.
“Gue baru nyadar.”
“Iya. Gue baru nyadar pas elo makan, elo makan wortel. Banyak lagi.”
“Wortel??” kaget Fira.
“Iya!”
“Kayaknya enggak deh! Gue itu kalau makan wortel pasti ngerasa secara gue kan alergi sama yang namanya wortel makanan si rabbit itu!”
“Aduh, Fir! Itu karena lo makannya langsung lahap. Gak ngeliat dulu ada wortel apa enggak!”
“Terus salah siapa?”
“Nanya lagi! Ya salah elo lah!”
“Salah lo juga dong!” Fira malah menyalahkan orang.
“Ihh.. udah tau elo alergi sama wortel masa gak ngerasa!”
“Bodo amet ah! Yang lagi gue pikirin gimana caranya ngilangin jerawat gue ini. Nanti cowok-cowok malah berpaling pada yang lain lagi.” Masih aja mikirin kecantikannya.
“Ya udah gimana kalau kita ke perpus?”
“Ngapain ke perpus?”
“Pake tanya lagi! Ya cari artikel cara nyembuhin jerawat lo lah!”
“Tapi Vi!”
“Kenapa? Gak mau? Pasti malu?”
“Fira menganggukkan kepalanya dengan memonyongkan bibirnya.
“Ya, udah gue aja yang cari sendiri! Tapi bibir lo itu jangan lebai. Nanti gak bisa balik lagi loh!” akhirnya Vivi pergi ke perpustakaan sendiri untuk mencari artikel tentang cara menyembuhkan jerawat.
Sementara Vivi pergi ke perpustakaan, Fira sibuk membuka buku pelajaran. Daripada diluar nanti ditertawain orang.
“Ah!! Baru baca sedikit bosennya minta ampun. Tapi kok bisa ya si Okta sampai pinter gitu. Kan baca bosen! Bikin ngantuk lagi!” comment Fira.
“Ngapain lagi ya?” bingung Fira.
Tak lama kemudian Vivi datang dengan membawa hasil print cara menghilangkan jerawat.
“Dapet, Vi?” tanya Fira senang.
“Ini udah gue print!” Vivi menunjukkan hasilnya itu.
“Coba gue lihat!” Fira mengambil kertas yang ada di tangan Vivi. “Apa?? Masa harus pake cara yang begini sih! Emang gak ada yang pakai obat gitu!” kaget Fira karena dia harus pakai cara tradisional.
“Itu juga obat kali!”
“Tapi obat yang diminum gitu atau sabun jerawat gitu!”
“Kalau pake obat yang gitu malah takutnya gak berhasil. Justru itu elo harus pake cara tradisional.
“Ihh..jijik Vi!”
“Namanya juga obat ampuh!’
“Tapi Vi..”
“Elo mau sembuh kagak?”
“Ya maulah.”
“Maka dari itu pake obat tradisional. Ikutin cara-caranya yah!” suruh Vivi. Terpaksa Fira harus mengikuti cara tradisional.
Waktu menunjukkan pukul 13.15. Fira dan Vivi pun segera pulang tapi gak seperti biasanya. Kan biasanya Fira sibuk bedakan tapi kali ini enggak. Sedang buru-buru.
“Vi!”
“Apa?” tanya Vivi menoleh kebelakang.
“Kita baliknya gak bareng ya!”
“Kok gak bareng?”
“Hmm… want to knoow aja!”
“Ya udah. Gue juga dijemput Rangga. Hehehe..bye Fir!”
‘Untung Vivi dijemput Rangga, jadi gue bisa beli obat jerawat.’ Ucap Fira dalam hati. Ternyata Fira sudah berfikir dengan matang dia gak mau pakai obat tradisional dia maunya pakai obat yang modern.
“Waktunya ke toko kosmetik!’
Sesampainya di toko kosmetik.
“Mba ada obat jerawat yang ampuh gak Mba?” tanya Fira pada Mbanya.
“Bentar ya dek! Nih obatnya lumayan ampuh. Tapi pakainya harus sesuai aturan ya!”
“Pastinya Mba! Berapa Mba?”
“35.000 dek!”
Fira pun membayar obat itu.
Ketika malam tiba, Fira langsung memakai obat jerawat tersebut.
“Gue bingung pake gak ya? Pake aja deh! Langsung banyak aja kali ya biar cepet hilangnya nih jerawat!”
Fira pun langsung memakainya lalu membilasnya dengan air.
“Hmm.. moga jerawat gue hilang!” ucapnya di depan cermin. Lalu Fira pun langsung  tidur dengan pulas.

***
Pagi datang lagi. Waktunya pergi sekolah. Seperti biasa Fira mengambil handuknya, mandi lalu pakaian. Ketika ingin menyisir rambutnya di depan cermin..
“Aaa..!!” teriak Fira dengan kencangnya hingga terdengar sampai bawah.
Ada apa cantik?” tanya Mamah panik.
“Jerawatku tambah banyak, Ma!” tangis Fira.
Pasrah sang Mama tak bisa berbuat apa-apa untuk anaknya tercinta itu.
“Mamah…,” Fira hanya bisa menangis, menangis dan menangis meratapi nasibnya itu karena jerawatnya itu makin banyak. Salah sendiri pakainya enggak sesuai aturan dan gak mau pakai obat tradisional yang sudah dibilang Vivi. Kan biasanya obat tradisional tuh ampuh.

***********

By: Fransiskus Sia Muliardi S

Kapan Sich Loe Berubah??


“Cin, gue pengen ngomong sesuatu sama lo,” Riko menarik tangan Cintya sampai di kantin. Sampai-sampai dilihat anak- anak pula.
“Ngomong apaan sih? Malu tahu diliat anak- anak,” kesal Cintya pada Riko yang tak tau mau diapain dirinya itu.
“Lo duduk dulu!” pinta Riko pada Cintya. Cintya pun turut apa katanya.
“Ya udah cepetan ngomong. Gue ada PR nih. Belom gue kerjain tau!” Cintya melihat jam tangannya karena 15 menit lagi bel sekolah berbunyi.
“Gini loh Cin. Dari dulu tuh gue udah ngefans sama lo. Terus lama- lama gue jadi…”
“Lo suka sama gue?” tanya Cintya memotong kalimat Riko.
“Ehmm.. iya Cin,” jawab Riko penuh malu.
“Gue gak bisa Rik. Dan lo jangan tanya alasannya kenapa gue nolak lo!” pinta Cintya lalu pergi sedangkan Riko terlihat sungguh patah hati.
Udah ke 28 kali Cintya menolak cowok mulai dari seumuran, kakak kelas, adik kelas, hingga yang cakep- jelek pun ditolaknya. Kalau ditanya alasannya pasti dia gak mau jawab atau langsung pergi begitu saja. Kalau pun ada yang maksa paling dia bilang “umurku belum sweet seventeen masih 16 tahun dan kata mamiku aku pacaran pas aku sweet seventeen.”. waduh bahaya dong hari gini nurut apa kata mami.

***
“Cici..!!” panggil Cintya di depan pintu kamar Cici.
“Ya masuk aja,” teriak Cici yang asyik membaca novel dari dalam kamar. Lalu Cintya masuk dengan memonyongkan bibirnya.
“Cintya kan?” tebak Cici lalu menaruh novelnya di dadanya.
“Koq tahu sih?”
“Ya siapa lagi kalo bukan lo. Kan Cuma elo doang yang sering banget malah setiap hari datang ke house gue.”
Cintya hanya diam seperti tak mendengar.
“Kebiasaan! Pasti pengen curhat kan?”
“Iya nih. Tadi tuh si Riko nembak gue terus gue tolak.”
“Capek deh!” Cici menaruh novelnya ke dalam lacinya. “Kenapa ya, Cin lo tuh selaluuu.. aja nolak cowok. Si Fajar yang cowok tercakep di sekolah aja ampe lo tolak. Seinget gue tuh, lo udah nolak 27 cowok ditambah Riko jadi 28 cowok yang elo tolak dan gak ada yang pernah elo terima. Kalo gue jadi elo sih langsung gue terima semuanya apalagi Fajar langsung hap sama gue.”
“Ah.. elo mah Ci.”
“Ya emang kenyataan kan elo nolak cowok sebanyak itu. Dari SMP gak pernah berubah. Lagian elo sih pake sistem nurutin kata nyokap lo. Kan elo bisa backstreet sama bonyok lo.”
“Tapi Ci..”
“Iya gue juga tahu. Pasti lo pengen ngomong backstreet itu dilarang sama mami lo. 100 kali kayaknya ya elo ngomong gitu. Ampe gue hapal.”
“Ya kan elo duluan yang ngomong backstreet.”
Cintya hanya diam tak menaggapi apa kata Cintya.
“Ci.. Cici elo denger gak sih?” tanya Cintya menggoyangkan kaki Cici. Ternyata Cici sudah tidur dari tadi.
“Ini orang gue pengen curhat malah molor,” bete Cintya.

***
Di sekolah Cintya cemberut aja. Ditanya ini enggak jawab, ditanya itu juga enggak jawab. Cici pun risih melihat sikap Cintya dan Cici langsung melakukan sesuatu.
“Ih.. lama- lama gue jadi males sekolah disini. Kayaknya gue pengen pindah sekolah aja lah!” ucap Cintya sambil melirik sedikit- sedikit ke arah Cintya.
Cintya tidak menanggapi perkataan Cici. Cintya hanya diam saja sambil menopang kepalanya dengan dua tangannya.
‘Koq dia enggak ngerespon sih,’ ucap Cici dalam hati.
Cici lalu pergi ke luar menunggu Cintya ikut keluar. Namun Cintya tak kunjung keluar. Cici kemudian masuk kelas kembali.
“Ya, ampun ini orang betah amet di kelas gak ngomong, gak jajan gitu.” Bingung Cici.
Cici mendekati Cintya lalu, “Cin, lo kenapa sih murung terus?”
Cintya hanya diam.
“Cin, makanya lo tuh jangan terobsesi sama omongan nyokap lo itu. Kalo gue sih kalo urusan cinta tuh dari gue sendiri bukan nyokap gue yang ngurusin,” Cici menyarankan Cintya.
“Maksud lo Mami?” akhirnya ngomong juga.
“Iya.”
“Terus gimana?”
“Hmm.. ya elo harus berubah dong.”
“Berubah??”
“Iya. Gimana kalo elo berubah sesaat umur lo sweet seventeen. Saat lo ultah. Gimana? kata mami lo, elo boleh pacaran kalo sweet seventeen kan?”
“Maksud lo?”
“Ya elo harus make a wish saat ultah lo ‘gue harus berubah’.”
“Iya deh gue usahain.”
“Janji??”
“Janji.”

***
“Ih bete banget deh gue,” Cintya memukul tempat tidurnya sambil berbaring.
Tiba- tiba hape Cintya berdering dengan lagu band kesayangannya yaitu Ungu.
“Siapa sih? Hallo.. hallo..,” jawab Cintya namun langsung di tutup sama orang yang menelphone Cintya.
“Ihh.. ini orang nyebelin banget sih! Dasar cumi yang gazebo,” kesal Cintya.
Hape Cintya berbunyi lagi. “Hallo.. ini siapa sih?” tanya Cintya namun langsung ditutup.
“Apa gue telephone balik ya?”
Saat Cintya ingin menelphone balik. Orang gazebo itu pun telephone Cintya lagi. Cintya langsung mengangkat tanpa basa- basi.
“Eh, lo siapa sih? Dari tadi miskol aja. Gak tahu ya kalo orang kesel di cumiin terus!” Cintya mulai naik darah seperti bom atom yang siap meledak.
“Sorry yah Cin. Soalnya gue miskol lo Cuma mau ngetes ini nomor lo apa bukan,” akhirnya orang gazebo itu pun menjawab pertanyaan Cintya.
“Lo tahu nomor gue darimana? terus kok lo tahu sih nama gue? N lo siapa?”
“Gue tahu dari seseorang yang gak boleh gue kasih tahu.hmm..  masak sih lo gak kenal gue?”
“Emang lo siapa? Trus tujuan lo telephone gue apa?  Ntar gue tutup nih kalau lo gak jawab!” ancem Cintya.
“Iya.. iya.. gue Ricky temen SMP lo dulu. Tujuan gue sih cuma pengen ngomong..,” sejenak Ricky berhenti.
“Ihh.. resek deh! Ngomong apaan sih?”
Ricky belum menjawab tapi telephone belum ditutup.
“Gue tutup nih telephonenya,” ancam Cintya lagi.
“Jangan.. jangan.. gue cuma pengen bilang gue suka sama elo, Cin.” Jawab Ricky cepat tanpa ragu- ragu.
“Bukannya waktu SMP lo pernah nembak gue, terus gue tolak.”
“Gue tau itu tapi lo jawabnya setelah lo ultah ya,” pinta Ricky.
“ Tapi kan ultah gue masih seminggu lagi.”
“Gue takut elo direbut orang.”
“Ya udah kalo inget ya,” Cintya menutup pembicaraannya dengan Ricky.

***
“Ci, lo tahu Ricky gak?” tanya Cintya.
“Cintya.. yang namanya Ricky itu banyak. Gak cuma siji,” jelas Cici lalu melanjutkan membaca novelnya itu di kelas yang begitu gaduh karena gak ada guru.
“Itu loh Ricky temen SMP kita dulu,” Cintya meyakinkan Cici.
“Eh.. dari kelas 7 sampai kelas 9 gue tuh sekelas sama Ricky yang beda- beda. Emang nama panjangnya atau ciri- cirinya gimana?”
“Ricky si raja playboy.”
“Oohh.. itu gue udah. Hehe..,” tertawa Cici.
“Ihh.. elo mah ngeselin yah!”
“Lagian udah tahu gue lagi asyik baca novel. Oh ya pasti lo tolak?” tanya Cici menatap ajah Cintya.
“Enggak. Gue belum jawab. Itu juga karena Ricky bilang jawabnya pas ultah gue.”
“Berarti bagus dong!”
“Maksud lo bagus apaan?”
“Ya.. lo kan pasti langsung jadian di hari ulang tahun lo,” senyum Cici.
“Biasa aja tuh!”
“Yang penting lo harus berubah gak boleh enggaak!”
“Capek deh!”

***
Seminggu kemudian…
“Happy birthday ya sayang,” ucap Mami dan Papi Cintya saat Cintya turun dari tangga rumahnya.
“Ternyata Mami sama Papi inget juga.”
“Ya iyalah sayang. Masa ulang tahun anaknya gak tahu,” tersenyum Mami Cintya.
“Oh ya gak lupa juga. Papi sama Mami punya hadiah buat kamu.”
“Makasih ya,Pi, Mi.”
“Dibuka dong!” suruh Papi.
“Wah bagus banget kalungnya Pi,Mi.”
“Sini Mami Pakaikan.”
“Kamu tambah cantik jadinya,” puji Papi Cintya.
“Sekali lagi makasih ya Pi, Mi.”
Cintya pun pamit dan berangkat ke sekolah.
Sesampainya di sekolah…
“Cici.. gila gue dikasih kado kalung sama Papi, Mami gue,” senang Cintya tiba- tiba menghampiri Cici.
“Wow.. bagus banget yah!” Cici memuji sambil memegang kalung Cici.
“Weits ini kalung mahaal. So, gak boleh dipegang orang sembarangan.,” Cintya melepas tangan Cici dari kalungnya.
“Ya ampun sampai segitunya.”
“Tenang. Just kidding.. just kidding.”
“Eh, jangan lupa elo harus berubah mulai dari sekarang.”
Tiba- tiba hape Cintya berdering.
“Hallo.. ada apa Rick?” tanya Cintya mengangkat telephone dari Ricky.
“Ehmm.. happy birthday ya, Cin.”
“Eh.. siapa?” tanya Cici berbisik.
“Ricky..” jawab Cintya pelan.
“Loudspeaker.. loudspeaker,” suruh Cici.
“Hallo.. Cintya elo masih denger gue kan?”
“Denger.. denger.”
“To the poin aja ya, Cin. Gimana jawabannya?” tanya Ricky penasaran.
“Hmm..” Cintya berfikir menatap Cici.
“Ya udah terima aja,” bisik Cici.
“Hmm.. gue gak mau. Jadi, gue nolak lo. Sorry ya.” Cintya menutup pembicaraannya dengan Ricky.
“Loh kok matiin sih? Udah gitu lo tolak lagi. Mana janji lo, Cin? Mana?”
“Setelah gue pertimbangkan semalem. Gue ingin serius belajar dulu. So, gue pacaran kalau udah punya gelar aja,” jelas Cintya.
“What?? Cintya.. Cintya.. kapan sih lo bisa berubah?” pusing Cici memikirkan sahabatnya yang anak Mami itu.
Cintya hanya cengar- cengir saja.

***************

By: Fransiskus Sia Muliardi S

Harapanku


“Ar, elo kenapa kok diem aja dari tadi? Apa lo punya masalah?” Tanya Vivi lembut.
“Gak ada masalah kok,” aku berbohong demi menutupi masalah yang terjadi padaku.
“Ya sudah tapi misalkan elo ada masalah, cerita aja ke gue. Daripada lo pendem terus entar bikin lo murung.”
“Iya pastinya kok,” aku meyakinkan Vivi.
“Gue ke kantin dulu ya.”
‘Maaf ya Vi kali ini aku gak bisa cerita masalahku ke kamu. aku pengen nyelesain sendiri aja’ batinku.

***
Jam istirahat tiba. Tapi aku di kelas saja ingin meyelesaikan masalahku.
“Ar, ke kantin yuk?” ajak Vivi saat ingin keluar kelas.
“Maaf ya Vi tapi aku lagi gak laper,” jawabku menolak.
Vivi pun pergi ke kantin sendiri. Karena biasanya Vivi pergi ke kantin bersamaku tapi kali ini tidak.
“Kenpa ya Vivi doang yang perhatian sama aku. Orang Tuaku aja jarang banget perhatiin aku. Padahal aku udah turutin semua keinginan orang tuaku,” ucapku saat Vivi pergi.
Tak lama kemudian Vivi datang tapi dia gak sendiri melainkan berdua bersama teman sekelasnya dulu. Dia adalah Via.
Vivi dan Via terus ngobrol sambil makan makanan yang sudah dibelinya di kantin. Sedangkan aku hanya diam memikirkan masalahku. Hanya sendiri gak ada yang mengajakku berbicara. Lagi pula aku juga anaknya kurang bergaul. Jadi, banyak teman yang mendiamiku. Aku iri sekali dengan Vivi karena dia punya banyak sekali teman. Dari cowok maupun cewek. Sedangkan aku cuma Vivi dan Via temannya.
  Kalau di rumah aku juga jarang banget keluar. Paling- paling di rumah cuma nonton atau baca buku di kamar. Padahal anak- anak di rumahku rata- rata sepantaran aku semua. Ya, mau diapain lagi kalau aku memang begini adanya.

***
Jam pulang sekolah tiba. Aku pun merapihkan buku dan alat tulisku ke dalam tas.
Saat ku sudah keluar kelas sepertinya aku males pulang ke rumah soalnya aku bete di rumah. Makan, nonton dan tidur. Gak ada yang merhatiin pula. Hidupku tuh serasa hampa gak ada teman, gak perhatian, gak ada kasih sayang dan gak kebahagiaan, yang ada hanya sendiri, bengong, murung dan bete bete bete. Tapi aku bersyukur punya teman seperti Vivi. Udah baik, perhatian sama orang, jujur, dan terima apa adanya. Tapi aku harus pulang ke rumah walaupun yang ada hanya bengong.
“Yah.. angkot pada penuh lagi,” kesalku.
‘Daripada bengong mendingan duduk di bangku.’
“Nah itu ada,” legaku ketika ada angkot tersebut mendekat. “Bang penuh ya?” tanyaku.
“Masih muat kok dek,” kata abang angkot itu.
‘Tak apalah yang penting ada. Walaupun harus ngegelantung,’ ucapku dalam hati lalu menaiki angkot tersebut.
Sesampaiku di rumah aku bener- bener bete banget. Ternyata mamah gak ada di rumah. Emang sih kalo siang- siang rumah sepi. Papah pergi ke kantor, Riko lagi sekolah, Mamah pergi lagi- pergi lagi.
Punya rumah gede tingkat 2 tapi kalo siang- siang sepi. Cuma ditempatin aku sendiri.
“Huh.. sendiri lagi.. sendiri lagi,” teriakku langsung pergi ke kamarku di lantai atas untuk mengganti baju. Dan tak lama kemudian aku tertidur.

***
“Kok tumben ya Vivi belum datang. Cuma baru aku dan Rara yang datang,” ucapku saat memasukki kelas. Ketika aku ingin duduk Via tiba- tiba datang.
“Eh.. Vivi udah datang belum?” tanyanya padaku.
“Belom,” jawabku pelan. Via pun pergi tapi dia malah balik lagi.
“Oh ya kalo dia udah datang bilang ya tadi gue ke sini terus suruh ke kelas gue ya. Thanks ya Ar,” Via menitipkan pesannya padaku.
“Iya,” jawabku singkat lalu Via pergi.
Aku pun menunggu Vivi datang sampai bel masuk berbunyi. Tetapi dia tak juga datang. Dan aku tak sengaja mendengar bisikan anak- anak tentang Vivi. Katanya Vivi dan keluarganya kecelakaan kemarin dan Vivi dalam kondisi kritis. Aku kaget mendengar kabar itu tapi aku tak tahu dimana Vivi dirawat. Aku juga gak begitu akrab sama anak- anak.
Saat jam istirahat tiba dan guru sudah keluar, ketua kelasku Febby memberikan pengumuman.
“Teman- teman jangan pada keluar dulu ada pengumuman,” teriak Febby.
“Pengumuman apa?” serentak semua kecuali aku tidak bertanya.
“Vivi dan kelurganya kecelakaan saat menaiki mobil dan Vivi dalam kondisi kritis. Saya mohon keikhlasan kalian untuk membantu meringankan biaya rumah sakit Vivi dan keluarga. Jika kalian tidak ada uang saya mohon untuk mendoakan Vivi agar lewat dari masa kritisnya.”
Febby dan teman-temannya pun menyediakan topi untuk menampung uang sumbangan buat Vivi. Setelah semua terkumpul, Febby memberitahu semua lagi.
“Oh ya kata Bu Rina bagi yang mau ikut ke rumah sakit melihat Vivi silahkan ke Bu Rina. Coba acung tangan yang ingin ikut!”
Aku pun mengacungkan tangan dan yang ikut menjenguk Vivi ada lima orang termasuk Febby dan Bu Rina. Aku dan temanku yang ingin ikut pergi ke Bu Rina bersama Febby untuk memberi uang sumbangannya.

***
Jam pulang sekolah pun tiba lalu aku, Febby, Bu Rina dan lainnya pergi ke rumah sakit.
Saat sudah sampai aku ingin menangis tapi aku tak mau karena aku sudah berjanji dengan Vivi agar tidak menangis lagi karena aku adalah laki- laki. Lalu kami melihat Vivi yang berada di ruang ICU. Jadi, kami bergantian masuk karena yang menjenguk hanya terbatas.
Setelah menengok Vivi, Bu Rina, Febby dan temanku menengok Orang Tua Vivi di ruang perawatan, sedangkan aku masih ingin menemani Vivi.
“Vi, semoga kamu sembuh ya. Aku gak mau kehilangan kamu. Kamu adalah best friendku. Jadi kamu harus sembuh ya,” lalu saya menyusul Bu Rina dan teman-temanku.
“Ibu saya prihatin sekali atas kejadian keluarga Ibu alami,” turut prihatin Bu Rina saat sudah masuk keruang perawatan Orang Tua Vivi.
“Terima kasih ya Bu Rina. Tapi bagaimana keadaan Vivi?” Tanya Ibu Vivi.
“Dia pasti lewat dari masa kritis. Oh ya bu saya dan anak- anak sudah membayar sebagian perawatan Ibu, Bapak dan Vivi,” beritahu Bu Rina dan memegang tangan Ibu Vivi.
“Terima kasih banyak ya Bu Rina.”
“Sama- sama, Bu.”
Aku pun permisi keluar untuk menenangkan diri. Setelah itu, aku pergi ke ruang ICUnya Vivi. Aku pun terus menatapinya.
Tiba- tiba Bu Rina, Febby dan lainnya meyadarkanku dari lamunan untuk pulang.
Sesampaiku di rumah, ternyata Mamah sudah pulang. Tapi sepertinya Mamah tampak marah.
“Ardi, kenapa kamu baru pulang?” Tanya Mamah penuh dengan emosi..
“Aku habis jenguk temanku di rumah sakit,” jawabku.
“Ngapain kamu perhatian sama dia. Ya, biarin aja dia diurusin sama orang tuanya.”
“Ya orang tuanya juga ikut dalam kecelakaan Mamah,” jelasku pada Mamah.
“Tapi kamu ngapain ngurusin dia.”
“Karena dia penting bagiku, dia selalu perhatian sama aku enggak kayak Mamah selalu marahin aku doang, gak pernah kasih aku kebebasan, aku cowok Mah bukan cewk yang slalu diatur-atur,” lawanku pada Mamah.
“Kamu ngelawan ya sama Mamah. Kualat kamu ya,” bentak Mamah lalu menamparku.
“Mamah tuh gak tahu apa yang aku rasakan selama ini. Sendiri di rumah, gak ada teman, selalu dibentak. Padahal aku selalu turuti keinginan Mamah tapi Mamah gak pernah perhatian padaku, gak bisa beri aku kasih sayang. Paling waktu aku masih kecil doang,” lawanku lalu pergi ke kamar dengan air mata yang sudah tak terkendali ingin keluar kan semua.
Di kamar aku hanya menangis, menangis dan menangis. Aku tak ada henti- hentinya untuk mengeluarkan air mata. Aku pun berdoa untuk kesembuhan Vivi agar lewat dari masa kritisnya. Karena aku tak mau kehilangan Vivi. Bagiku dia adalah malaikat. Dan hanya dialah yang peduli terhadapku, dialah orang yang paling aku sayangi, dialah yang selalu perhatian padaku. Aku berharap dia lewat dari kritisnya dan ku berharap semua orang termasuk orang tuaku bisa menyayangiku.
***************

By: Fransiskus Sia Muliardi S

Walau Tanpamu


Wulan, Rasti, Dani, Bagus, Vany, dan Ardi. Mereka adalah sekumpulan anak yang sudah bersahabat sejak dulu. Anak-anak di sekolah biasa mengenal mereka dengan sebutan d’rp, ehmm..kadang mereka membuat kekacauan di kelas mereka masing-masing, dari yang ngerjain orang bias dikatakan usil, ngumpetin barang orang, berisik kalau gak ada guru, dll.
Tapi kini mereka sedang menghadapi masalah. Masalahnya adalah soal Ardi, karena dia sudah 2 hari menghindar dari mereka-mereka.
“Ar, koq lo selalu menghindar dari kita-kita sih?” Tanya Dani mencegat Ardi.
Ada apa sih sebenarnya sama elo, Ar?” Tanya Wulan menatap Ardi dengan serius bahkan duarius.
“Kenapa sih kalian pada nanya-nanya. Heran gue..kan suka-suka gue mau menghindar ato enggak!” bentak Ardi yang sudah emosi.
“Ar, koq lo jadi berubah gitu sih?” Tanya Bagus bingung.
“Mau berubah, mau enggak, ya suka-suka gue,” Jelas Ardi langsung pergi begitu saja mendorong Dani yang tadi mencegatnya.
“Ar, koq lo malah pergi!” teriak Vany.
Mereka semua heran apa yang terjadi pada Ardi selama 2 hari ini. Lalu mereka ke kelas Rasti untuk memikirkan apa sih sebenarnya yang terjadi pada diri Ardi.
“Menurut pendapat gue ya, Ardi lagi ada masalah ama keluarganya kali,” Tebak Wulan.
“Kalo gue, pasti dia nembak cewek trus di tolak,” Tebak Dani.
“Nggak. Bukan itu, jangan-jangan dia habis di hokum guru,” Tebak Bagus.
“Menurut gue apa ya..apa ya? Jangan-jangan dia gak di kasih uang jajan 1 bulan gara-gara sesuatu kali,” Tebak Vany.
“Kalian semua salah. Emang masalah keluarga apa? Kalo Ardi ada masalah keluarga kan Ardi pasti cerita ke kita-kita. Gak mungkin kan. Kalo dia nembak cewek trus gak diterima pasti dia juga curhat ke kita-kita, end kan masih banyak cewek di dunia ini trus kenapa dia marah-marah bukannya nangis-nangis gitu. Dihukum guru, kan gak mungkin secara gue sekelas trus masa sampe segitunya sih dia marah-marah kan udah 2 hari. Gak dikasih uang jajan tapi koq dia jajan tadi. Jadi menurut gue ya..gue bisa menyimpulkan kalo Ardi tuh lagi ada masalah sesuatu gitu,” Jelas Rasti dengan begitu panjangnya ampe-ampe temen-temennya melongo, bengong aja.
“Ras, tapi sesuatu apa contohnya?” Tanya Wulan karena dia tuh mendengar dengan serius bahkan duarius.
“Gak tau?!” tertawa Rasti.
Semua pun menyorak Rasti.
“Yang penting kan udah kasih pendapat gitu,” Masih aja dia cenagr-cengir.
“Eh, friends gimana kalo kita buat rencana,” Wulan memberi usul dengan begitu cepat.
“Rencananya apa?” Tanya Rasti penasara.
“Kita ikutin aja si Ardi sampai rumahnya, trus kita ngumpet di mana gitu,” Terang Wulan, memang tiap ada masalah gawat darurat pasti Wulan terus yang memberi usul boro-boro friendsnya.
“Ide bagus tuh,” Puji Rasti.
“Tapi..kita harus duluan di depan gerbang sekolah,” Wulan melanjutkan penjelasannya.
Ehm..akhirnya mereka setuju-setuju aja akan idenya Wulan.

***

Wulan, Dani, Bagus dan Vany sudah berkumpul di gerbang sekolah. Dan Rasti pun muncul dengan berlari.
“Eh, friends si Ardi segera datang,” Teriak Rasti sambil lari seperi dikejar-kejar anjing.
“Ya, udah kalo gitu kita ngumpet,” Beritahu Wulan.
Lalu mereka semua mengumpat begitu juga dengan Rasti yang ngos-ngosan lari-larian.
“Aduh..t-tau gak t-tadi? Gue-gue pas udah keluar k-kelas gue-gue langsung la-lari. Trus, si Ardi heran liat-liat gue,” Cerita Rasti yang masih ngos-ngosan.
“Udah lo diem dulu! Tuch si Ardi datang,” Suruh Vany.
Setelah Ardi melewati pos dan pintu gerbang sekolah, mereka semua keluar pelan-pelan dari pos.
“Ayo..kita mulai rencana,” Ucap Wulan dengan berbisik.
Sesampainya di rumah Ardi, mereka semua mengumpat di teras tetangganya Ardi. Untungnya Ardi sedang duduk di depan rumahnya dan berbicara dengan Ibunya yang sedang menyapu halaman rumahnya.
“Mah, memang benar minggu besok kita jadi pindah ke Bandung?” Tanya Ardi sembari melepas sepatu kesayangan bermerk Converse.
“Ya, jadilah… sayang,” Jawab Ibu Ardi singkat.
“Trus urusan sekolahku gimana?” Tanya Ardi lagi yang masih melepas kaos kakinya.
“Lagi diurus koq sayang.”
‘Ooh..berarti itu yang bikin Ardi kayak gitu. Mungkin Ardi begitu biar aku dan yang lain gak kecewa dengan keputusan orang tuanya Ardi,’ Pikir Rasti dalam hati.
“Eh, friends kita balik yuk!” ajak Rasti.
“Koq balik sih?” Tanya Bagus yang dari tadi asyik-asyiknya main Hp bukannya memperhatikan.
“Makanya tadi lo denger apa kata Nyokapnya Ardi, jangan main-main Hp aja,” Kali ini Wulan menasehati Bagus yang sudah ke 100 kalinya.
“Habis gue capek.”
“Udah ayo..!” ajak Dani menarik tangan Bagus.

***

“Gue harus gimana yah? Biar Ardi bisa tetep di sini terus. Soalnya dia kan sahabat paling baik banget bagi gue,” Bolak-blik Rasti memikirkan itu di kamar tidurnya.
“Hai, Kak..!” Ika mengagetkan Rasti dari lamunannya.
“Ika!! Ngagetin gue aja. Udah tau gue lagi sibuk,” Bentak Rasti yang emosinya kini sudah tak terkendali.
“Sorry!” Ika meminta maaf lalu Ika langsung tiduran di tempat tidur Kakaknya.
“Kak, emang sejak kapan Kakak bisa sesibuk ini? Soalnya kakak itu kan anaknya malesan,” Ika menyindir sambi menggerogoti kukunya itu.
“Lo jangan bikin gue emosi deh!”
“Sorry again. Emang sibuk apaan sih?”
“Hmm.. lo tau Ardi kan?” Tanya Rasti.
“Ardi. Hmm.. oh ya sahabat kakak itu kan. Tau-tau,” Ika mengingat Ardi lalu duduk.
“Dia tuh pengen pindah ke Bandung , tapi dia sembunyiin gitu,” lanjut Rasti.
“Koq kakak tau kalo dia nyembunyiin itu?” Tanya Ika.
“Tadi siang pulang sekolah kakak sama sahabat kakak yang lain ikutin Ardi sampai rumah, trus kita denger pembicaraan Nyokapnya Ardi and Ardi tentang kepindahan si Ardi,” cerita Rasti.
“Trus inti dari permasalahannya apa?” Tanya lagi Ika menatap Rasti serius.
“Dia tuh gak mau bilang soal itu ke kakak dan yang lainnya. Padahal kan kakak dan dia tuh sahabatan, dan kakak tuh gak mau kehilangan dia, karna dia itu sahabat yang paling bisa ngertiin kita semua,” ngotot Rasti.
“Kakak gimana sih?” kalau udah keputusan dari Ibunya Ardi ya udah gak bisa diganggu –gugat lagi.”
“Iya sih. Tapi.. gimana biar dia mau ngomong soal itu ke kakak dan yang lainnya?” bingung Rasti langsung duduk di tempat tidurnya.
“Ya udah, mending kakak ngomong berdua sama kak Ardi. Bukan gitu caranya kalo ingin pisah dengan kakak dan yang lainnya,” Ika menyarankan.
Ada benarnya juga lo, Ka. Memang lo tuh adik gue yang paling pinter,” puji Rasti lalu mencubit pipi Ika.
“Aduuh.. jangan kayak gitu dong kalo mau muji orang! Sakit tau!” protes Ika.
Rasti hanya tertawa.
Di sekolah saat jam istirahat..
“Ar, gue pengen ngomong sesuatu hal sama lo. Sebentar doang!” ajak Rasti menarik tangan Ardi ke kelasnya.
“Apaan sih?” Tanya Ardi kesal langsung melepas tangan Rasti. Lalu Ardi pun duduk demikian pula dengan Rasti. “Cepetan! mo ngomong apa?”
“Iya. Tapi, lo harus jawab jujur sama pertanyaan gue?”
“Ya udah cepetan!”
“Ar, emang bener lo jadi pindah ke Bandung?” Tanya Rasti pelan.
Ardi kaget bukan main.
“Ras, lo tau darimana?” Tanya Ardi menatap Rasti dengan menunjuk tangannya ke muka Rasti.
“Kemaren gue sama temen-temen ngikutin lo sampe rumah. Pas ampe rumah lo, gue end yang lainnya dengerin pembicaraan lo ama Nyokap lo. Sorry ya, Ar,” Rasti menceritakan semuanya.
“Rasti!! Ngapain lo ngemata-matain gue. Sama temen-temen lagi,” bentak Ardi.
“Habis setiap gue tanya, Wulan tanya, dan yang lain tanya, lo cuma ngomel, ngebentak, banting muka, diem, apalagi? Kurang apalagi?” Rasti membela diri.
Seketika Ardi diam lalu Wulan tak sengaja menguping pembicaraan mereka dari pintu kelas. Wulan pun memanggil yang lainnya.
“Emang gue yang salah. Karena, gue takut lo, Wulan, Vany, dan yang lainnya sedih kehilangan gue,” Ardi memberitahu alasannya.
“Gue gak sedih koq, Ar. Gue sedih kalo lo gak jujur sama gue and yang lainnya,” ucap Rasti.
“Setiap orang yang kehilangan teman terbaiknya pasti merasakan kesedihan, Ar. tapi jika teman terbaiknya itu tidak melupakan dia pasti dia gak akan sedih,” ucap Wulan tiba-tiba datang.
“Gue gak sedih koq, bro. soalnya lo dah mau jujur sama kita-kita,” Bagus menyusul, yang lainnya pu ikut.
“Kalian..,” kaget Ardi.
“Ar, ini baru lo. kalo yang kemaren bukan, itu bukan lo,” ucap Dani memegang pundak Ardi.
“Maafin gue ya. Emang gue yang salah, udah ngejauhin kalian semua. Sekali lagi maafin gue ya..!!” Ardi meminta maaf.
“Memang kita sedih, tapi keputusan Nyokap lo gak bias dibantah lagi,” jelas Vany.
“Kita semua maafin lo koq, Ar. Dan kita semua tuh tetep sayang dan ingat selalu sama lo, Ar,” Rasti mewakili.
“Dan kita juga harus tetep kompak selalu walau tak ada Ardi di samping kita-kita. Dan lo, Ar juga harus inget kita-kita,” ucap Wulan.
“Because We Are..,” ucap Rasti lalu menaruh tangannya ke depan.
“Best Friend Forever,” serentak semua.
“Tak ada yang bias pisahkan kita semua,” ucap Wulan.
“Yess!! Hore!!” serentak semua sambil melompat.
Walau tanpa Ardi di sisi mereka lagi mereka semua berjanji tidak akan lost contact dengan Ardi.

*****

By: Fransiskus Sia Muliardi S

Mimpiku Jadi Kenyataan


Banyak orang yang bilang mimpi indah itu bisa menjadi kenyataan. Tapi tidak untuk aku. Aku malah sering mimpi indah yang tak bisa kulupakan dalam hidupku, tapi nyatanya tidak menjadi kenyataan. Ah.. itu mah cuma omongan belaka.
“Ria, pokoknya gue gak percaya lagi akan mimpi indah jadi nyata,” ngototku.
“Yuli, lo itu harus percaya,” Ria meyakinkanku.
“Enggak!!”
“Harus!!”
“Enggak, enggak, enggak, enggak. Pokoknya gue gak percaya.”
Susah ya ngomong sama orang keras kepala kayak lo.”
Kan itu udah bawaan dari lahir.”
Ria hanya menghembuskan nafas pelan. Pertanda Ria mengalah padaku.
“Kakak, ada telephone tuh dari temen kakak,” beritahu Kiki adikku.
“Siapa namanya?” tanyaku.
“Gak tau tuh!”
“Awas ya lo kalo bo’ong,” ancamku.
Saat kuangkat telephone, ternyata gak ada suara orang sama sekali pun. Hanya ada bunyi yang bikin kupingku budek. Memang adikku itu iseng banget sama aku, temenku, pokoknya siapa ajalah yang dia gak kenal dan dikenal.
“Kikiiii!!!” teriakku dari ruang tamu.
“Apa kak?” sahut adikku keluar dari kamarku di lantai atas.
“Bener kan elo bo’ong,” kesalku padanya.
Adikku hanya tertawa seperti kuntilanak aja.
“Sini lo!” suruhku.
Sepertinya adikku menyerah karena dia mau turun. Tapi nyatanya dia langsung kabur keluar rumah.
“Kikiiii…!!” amarahku mulai meledak.
“Tomboinya keluar deh!” ejek Ria dari lantai atas.
“Elo juga kalo marah jurus teriak lo keluar!” aku tak mau kalah.
“Tapi itu udah enggak lagi,” ucap Ria sambil menjulurkan lidahnya itu.

***
Malamnya di rumahku…
“Mah, aku hari ini gak makan dulu ya!” pintaku pada Mamah.
“Loh kenapa?” tanya Mamah heran. Soalnya biasanya aku paling semangat kalu makan malam bersama.
“Aku ngemil aja deh di kamar sambil nonton.”
“Ya sudah sana.”
“Makasih ya Mah,” aku pun langsung menuju kamarku. Tapi disaatku enak- enaknya ngemil sambil nonton, hapeku bergetar dan ternyata Ria yang telephone.
Ada apa, Ri?” tanyaku.
“Cuma pengen bilang moga mimpi indah and mimpi lo bisa jadi kenyataan,” ucap Ria sambil tertawa.
“Gue gak bakal percaya akan itu.” Kesalku langsung menutup pembicaraan.
“Ngomongiiin itu melulu gak ada bosen- bosennya,” kesalku melanjutkan ngemil.
Tak lama kemudian Kiki datang mengagetkanku saatku sedang asyiknya ngemil dan nonton.
“Kakak!” Kiki mendobrak pintu kamarku.
Aku pun kaget dan batuk- batuk.
“Kiki..” kesalku masih batuk-batuk.
“Sorry kak.”
“Elo tuh kalo mau masuk jangan asal dobrak dong! Liat nih gue keselek.”
Kan maaf.”
“Kali ini gue maafin. Tapi kalo besok begini lagi, gak bakal gue maafin,” ancamku.
“Ihh.. beraninya ngancem. Gak takut tuh!” ejek Kiki.
“Emang apa tujuan lo kesini?” tanyaku mulai naik darah.
“Tuh temen kakak yang cerewet si Ria telephone,” beritahu Kiki.
“Bilang gue udah tidur,” suruhku.
“Buktinya belom juga,”
“Udah sono bilangin.”
“Tapi kak, kak Ria udah denger suara kakak.”
“Denger darimana? Udah tau telephone di bawah.”
Kan telephonenya bisa dibawa ke atas. Ini.,” Kiki menunjukkan telephonenya lalu diberikan padaku.
“Ya ampun!” kesalku.
“Kakak jangan marah sama aku, sama kak Ria aja ya,” Kiki langsung pergi begitu saja.
Ada apa sih lo? Udah tahu gue lagi makan,” tanyaku.
“Gue cuma bilang ntar kalo lo mimpi indah, lo harus percaya kalo tuh mimpi bakal jadi kenyataan.”
“Ihh.. udah gue bilang gue gak percaya! gak percaya! gak percaya!” kesalku lagi tapi kali ini dengan Ria bukan dengan adikku.
“Harus!!” ngotot Ria.
“Enggak!!” ikutku ngotot.
Susah ya ngomong sama lo. Tapi liat aja nanti pasti lo kaget saat mimpi lo jadi kenyataan,” Ria langsung menutup telephonenya.
“Ditutup lagi. Bodo ah! Yang penting gue gak percaya. Oh ya ngemil,” aku langsung melanjutkan ngemil di kamar yang sepi, sunyi yang pastinya gak gelap.
Selesai dari acara ngemilku aku langsung tidur begitu dengan pulasnya. Tak lama kemudian aku bermimpi tak tau judulnya apa gitu.
“Hai.. kamu anak baru ya?” tanyaku pada seorang cowok yang ada di kelas yang sepertinya cowok itu belum ku kenal.
“Iya..,” jawabnya singkat.
“Pindahan darimana?” tanyaku lagi padanya.
“Dari Bandung,” jawabnya singkat lagi dengan senyum manisnya itu.
“Oohh.. ya udah kalo gitu, moga kamu nyaman ya di sekolah ini terutama kelas ini,” harapku langsung ke tempat dudukku. Tepatnya sih di depan dia.
“Eh, emang nama kamu siapa?” tanya cowok itu.
“Oh My God sampe lupa. Namaku Yuli. Kalo kamu?”
“Namaku Eros.”
“Kayak nama gitaris Sheila On 7 aja.”
“Sebenarnya nama asliku Egi Rosiawan. Karena aku tuh kalo nulis nama slalu E. Rosiawan jadi temen- temenku di Bandung panggil aku Eros.”
“Nyambung juga. Hmm.. aku gak bisa ngobrol banyak- banyak nih. Cause aku pengen ke kelas temenku dulu. Ntar di sambung lagi ya.”
Dia hanya mengeluarkan senyumannya itu.
Tiba- tiba mimpiku jadi berubah. Mimpiku jadi aku sama Eros jadian. Lantas aku bangun.
“Untung cuma mimpi,” mataku melek sekejap.
“Mungkin gak ya mimpi gue tadi jadi kenyataan,” pikirku. “Udah ah tidur lagi.”

***
“Mah, aku berangkat dulu ya!” aku pamit pada Mama lalu menyalim Mama.
“Adek kamu?” tanya Mama.
“Dia berangkat sendiri aja. Soalnya..,” aku gak tahu harus ngomong apa.
“Soalnya kenapa?” tanya Mama yang mulai bingung dan membuatku bingung harus mau ngomong apa.
‘Tin.. tin..’ terdengar suara motor. Aku pun punya ide untuk tidak berangkat bareng adikku yang usilnya minta ampun.
“Soalnya aku bareng Ria ,Mah.”
“Ohh..”
“Ya udah ya Mah. Dah..,” aku pun membuka pintu keluar. Dan pastinya Mama mengantarku sampai ke depan pintu rumah.
“Hati- hati ya, Ria bawanya,” ucap Mama saatku naik ke motor Ria.
“Iya tante. Kalo gitu berangkat dulu ya, tante,” pamit Ria.
Mama tersenyum.
“Untung lu datang, Ri,” ucapku lega.
“Setiap gue denger kata ‘untung’ pasti lo tadi terkena bahaya ya?”
“Iya. Tadi gue disuruh Nyokap berangkat sama adek gue yang bandelnya minta ampun.”
“Iya tuh. Masa kemaren gue dibilang cerewet sama dia.”
“Eh, btw ngapain lo jemput gue? Kan kita gak pernah janjian?” tanyaku pada Ria.
“Gue cuma pengen tanya. Gimana tadi mimpi lo? Indah apa buruk? Kalo indah banget pasti jadi kenyataan,” tanya Ria.
“Gue kira penting. Tau- taunya cuman nanyain ituu.. terus,” tambah bete aku.
Kan gak papa. Hmm.. coba dong ceritain mimpi lo semalem!” pinta Ria.
“Intinya aja ya. Di kelas kita ada anak baru. Dia tuh cowok. Terus gue ujung- ujungnya jadian sama dia.”
Tiba- tiba Ria mengerem motornya dengan pakem.
“Aduh sakit tahu, Ri! Ada apa sih?” tanyaku sambil mengelus kepalaku.
“Itu baru namanya mimpi yaa..ng indah.”
“Ah, nyusahin lo. Udah jalan! Tar terlambat lagi,” kesalku.
Sesampai di sekolah…
“Gue duluan ya, Ri,” ucapku saat turun dari motor Ria. Ria hanya diam sibuk memarkirkan motornya.
“Hmm.. nanti ada pelajaran Kewarganegaraan lagi. Waduh.. gue jadi males nih!” cemberutku saat memasuki kelas dan duduk di bangku. Tapi saatku duduk, Ria udah kayak orang gila. Habis dia teriak- teriak. Kambuh deh penyakitnya.
“Yul, lo tau gak? Gue tadi ketemu cowok cakeeep banget!”
“Ihh.. baru ketemu cowok cakep. Belum ketemu idola lo.”
“Bodo! Pasti ntar lo akan klepek- klepek kalo udah ngeliat cowok itu.”
“Gimana sih orangnya? Kelas berapa?”
“Ihh.. kan gue bilang dia tuh cakep. Hmm.. kalo soal kelas, gue kagak tau. Tapii..”
“Tapi apaan?” tanyaku lagi.
“Kayaknya gue baru liat tuh anak.”
“Maksud lo?”
“Mungkin dia anak baru kali.”
“Anak baru!!!” kaget aku mendengar kata itu. Karena semalam aku bermimpi seorang cowok, anak baru lagi.”
“Kenapa lo? Atau jangan- jangan..”
“Udah ah diem!” bentakku.
“Ya udah ya awas loh kalo lu ngobrol sama gue,” ngambek Ria membanting mukanya.
“Bodo amat ah.. kalau kau marah.. kupikir- piker kutak salah,” ucapku sambil menyanyikan lagu 3in1 yang Bodo Amat Ah! Dan langsung berdiri dari bangku.
Ketika kuingin keluar tiba- tiba..
“Aduh sorry.. sorry..!” maafku pada seseorang.
“Gak papa kok,” ucap seseorang dan terdengar seperti laki- laki.
“Yuli.. Yuli..,” bisik Ria kaget.
“Apaan?” tanyaku heran sambil menengok kearah Ria.
“Itu.. itu..,” bisik Ria.
“Apaan sih?”
“Lo liat ke atas!”
Saatku lihat ke atas, aku kaget bukan main. Ternyata ini cowok yang ada dalam mimpiku. Saat aku udah berdiri,langsung aku lari ke kamar mandi dengan jantung deg- degan dan ngos- ngosan.
“Waduh.. kok bisa ya! Mimpi gue jadi kenyataan,” ucapku ngos-ngosan.
“Yul, kok lo lari sih? Bukannya liat tuh cowok jadi terpesona malah langsung kabur.” Tiba- tiba Ria datang.
“Ri, coba lu cubit gue!” suruhku. “Auw.” Rintihku saat dicubit Ria.
“Emang kenapa sih?”
“Tuh cowok Eros yang ada dimimpi gue, Ri,” ucapku menggoyangkan badan Ria.
“Yang bener? Udah gue bilang ada loh mimpi yang jadi kenyataan,” tertawa Ria.
“Gak mungkin! gak mungkin! gue gak percaya! gak percaya!” teriakku dari dalam kamar mandi.
Tapi karena mimpiku ini, aku jadi beruntung.

**************

By: Fransiskus Sia Muliardi S.

Oh Sahabatku


“Eva…gue diputusin Eric” tangis Sani saat datang ke kelas Eva.
“Koq bisa, San?” Tanya Eva penasaran.
“Gue juga gak tahu, Va.
“Kenapa lo gak tanya sama Eric.” Eva menyarankan.
“Tadinya gitu tapi Eric langsung pergi.” Jelas Sani.
“Ya..udah lo tabah ya!” Eva menenangkan sambil mengelus rambut Sani.
Eva itu adalah sahabat dekat Sani sekaligus tempat curhat. Ada satu lagi shabat Sani yaitu Rifka si cewek kutu buku yang kerjanya ke perpustakaan terus. Misalkan ada PR yang susah banget Rifkalah tempat untuk jawaban PR tersebut.
“Va, ada apa lo manggil gue?” Tanya Rifka yang tiba-tiba dating.
Eh..lo, Rif ..bantuin gue ngerjain tugas dong!”
“Ufhh…ya, udah mana? Eh, ada Sani. Ngapain lo, San?” Tanya Rifka.
“Ssstt..dia lagi sedih.” Bisik Eva.
“Oohh..koq bisa sedih?” Tanya lagi Rifka dengan mengigit jarinya.
“Dia habis diputusin Eric.” Bisik lagi Eva.
“WHAT???” kaget Riifka setelah mendengar bisikkan Eva. Memang kalo Rifka kaget kayak orang kesurupan.
“Lu ngomong pelan-pelan napa, berisik tahu!”
“Oops..sorry udah kebiasaan.” Rifka menutup mulutnya.
“Hiks..hiks..hiks..” cengeng Sani lagi.
“Udah , San…lo tabah aja. Di sini tuh sekolah bukan rumah.” Rifka menenangkan.
“Habis gue curhat tapi kagak di kasih solusi gitu. Cuma ngomong tabah doang. Gue tuh masih cinta ama Eric Rif-Va. Masak sama sahabat gitu sih!” ngambek Rifka lalu pergi tapi…
“Kok lo pergi, San?” Tanya Rifka menarik tangan Sani.
“Lagian kalian gak kasih gue solusi.” Ngambek Sani memonyongkan bibirnya.
“Ya.. lo tunggu dulu, kan cari solusi tuh juga perlu waktu.” jelas Rifka.
“Ahh..males mending ke kelas. Lagian juga bentar lagi bel.” pergi Sani tanpa basa-basi.
“Emang ya..si Eric kurang ajar banget!” kesal Rifka.
“Koq jadi lo yang marah?” Tanya Eva.
“Ya kan kita cewek pasti sakit dong diputusin cowok tanpa sebab gitu!” kesal lagi Rifka. “Ya.. udah ya.. Va tar istirahat gue kasih tugas lo.” pergi Rifka.
***
2 ½ jam telah berlalu dan jam istirahat pun tiba. Saat guru di kelas Eva keluar, Eva langsung lari begitu saja tanpa merapihkan buku yang berada di atas mejanya itu demi ke kelas Sani.
Ketika Eva sampai di kelas Sani, ternyata Sani tidak ada. Lalu Eva pergi ke kelas Rifka namun si Sani pun juga tidak ada hanya Rifka yang lagi mengerjakan tugas Eva.
“Eh…Va kok lo pergi. Ini tugasnya.” teriak Rifka namun Eva pergi begitu saja.
Eva pun terus mencari Sani di kantin tidak ada, di perpus tidak ada, di wc tidak ada, di taman sekolah juga tidak ada dan terakhir di koperasi juga tidak ada.
“Aduh…si Sani mana…lagi? Capek gue nyarinya.” lelah Eva mencari Sani. Eva pun duduk di bangku koperasi. Ketika Eva istirahat Rifka datang.
“Va, elo mah gue cari dari tadi. Eh..malah di sini. Nih tugas lo udah selesai.” Rifka memberikan buku itu ke Eva.
“Thanks ya, Rif
“Sama-sama. Btw lu emang lagi nyari siapa sih? Ampe ngos-ngosan gitu.” Tanya Rifka.
“Sani..” jawab Eva.
“Ngapain lo nyari Sani ke sini-sini. Udah tahu Sani ada di kelasnya.” ujar Rifka dengan tawanya.
“Gue tadi udah ke kelasnya tapi tadi gak ada. Emang lo tahu darimana?”
“Tadi tuh gue ke kelas lo buat ngasih buku tugas lo ini tapi lo nya gak ada. Ya, udah gue ke kelas Sani tapi gak ada lo. Trus gue tanya sama Sani tapi dia gak tahu. Ya, udah gue keliling-keliling nyari elo. Eehh..tau-taunya lo di sini.” Jelas Rifka.
“Kalo gitu ke kelas Sani yuk! Gue tahu solusi buat dia.” ajak Eva menarik tangan Rifka. Lalu mereka pergi. Setelah tiba di kelas Sani. Untung Sani masih ada dan mereka pun langsung masuk
“Hai.. San, San.. gue tau solusi buat lo” ucap Eva.
“Gak perlu gue udah bisa lupain dia” ngotot Sani.
“Lo kok gitu sih! Bukannya tadi lo bilang lo masih cinta sama Eric. Gimana sih lo, San” bingung Eva.

“Itu tadi, sekarang gak lagi”

“Ya, udah kalo gitu. Gue ke kelas dulu ya. Yuk.. Rif !” ajak Eva menarik tangan Rifka lalu pergi.
Saat Eva sudah memasuki kelas, Rifka langsung pergi ke kelas Eric. Rifka ingin tahu apa sebabnya Sani dan Eric putus begitu saja. Karena setahu Rifka hubungan Sani dan Eric tuh kemarin baik-baik aja. Tapi sekarang kok putus.
“Ric, gue boleh tanya sesuatu gak sama lo?” Rifka meminta izin pada Eric.
“Boleh, emang tanya apaan?”
“Elo kok bisa sih putus begitu aja sama Sani.”
“Mendingan lo tanya sono sama Sani kenapa gue sama dia putus!” ngotot Eric.
“Tapi dia bilang gak tahu.” Bingung Rifka.
“Dia tuh selingkuh dibelakang gue. Kemaren malem gue lihat dia di mall lagi jalan ama cowok.” Jelas Eric.
“SELINGKUH..???” kaget Rifka.
“Lo berisik amet sih!”
“Oops..sorry..udah kebiasaan kalo kaget. Ya, udah deh kalo gitu gue balik ke kelas ya..thanks ya, Ric.”
***
3 jam pelajaran sudah berlalu dan jam pulang pun tiba. Eva pun buru-buru ke kelas Sani untuk menanyakan yang tadi.
“San, bareng yuk!” ajak Eva.
“Ya, udah.” terima Sani.
Sani dan Eva pun pulang bersama tapi saat ingin keluar pintu gerbang sekolah, Rifka mengagetkan Eva dan Sani. “DORR!!”
“Aduh, Rife lo mah ngagetin gue aja!” kaget Eva.
“Sorry..sorry..”
“Ufhh..jangan kayak anak kecil deh lo ngagetin orang aja!” ucap Sani kesal dengan menghembuskan nafas.
Kan sorry..oh ya, San..kata Eric, Eric mutusin lo gara-gara selingkuh. Emang benar ya?” Tanya Rifka.
“Selingkuh!!!enak aja dia bilang gue selingkuh” bantah Sani menatap wajah Rifka.
“Tapi kata Eric, dia ngeliat lo jalan sama cowok di mall” jelas Rifka.
“Kapan??” Tanya Sani singkat.
“Kemaren malem”
“Tunggu-tunggu..kemaren malem gue tuh emang bener ke mall tapi sama abang gue.” terang Sani.
“Maksud lo, San?” serentak Eva dan Rifka.
“Eric tuh salah paham.”
“Emang Eric gak tahu rupa abang lo kayak gimana?” tanya Eva.  “Abang gue tuh sibuk kuliah jadi jarang banget ketemu sama Eric.” “Ternyata Eric tuh tipe cowok pencemburu.” Sani pergi begitu saja.
“Yah, Sani pergi.”
“Va, gimana kalo kita bikin rencana buat Sani balik lagi sama Eric.”
“Ide bagus tuh” jawab Eva.
Rifka dan Eva pun membuat rencananya dan mereka akn lakukan besok.
****
“Hai, Ric..” sapa Eva lalu duduk di samping bangku Eric.
“Ngapain lo? Pengen nanya kenapa gue putus sama si Sani.”
“Gue udah tahu tapi..itu gak bener, Ric!” bantah Eric.
“Gak bener apa maksud lo!” bingung Eric.
“Sani tuh gak selingkuh, lo Cuma salah paham doang.”
“Salah paham apa? Orang gue yang liat sendiri pake mata kepala gue sendiri.”
“Tapi..Ric..”
“Aahh… males gue di sini. Misi lo.” Eric pergi begitu saja tanpa mendengar penjelasan Eva.
Evapun gagal agar Eric balik lagi sama Sani. Lalu Eva menuju ke kelas Rifka dangan muka murung.
Gimana, Va?” Tanya Rifka penasaran saat Eva datang.
“Gagal” jawab Eva.
“Trus gimana dong?” bingung Rifka.
Kan masih ada lo, Rif .”
“Oh..iya.. kan masih ada gue yah..hehe..tapi kayaknya besok aja deh!”
“Kenapa?”
“Kalo istirahat gue pengen ke perpus coz ada tugas kliping.”
“Ya, udah tapi lo usahain biar Eric kagak kabur, ya!”
****
“Hai, Ric..” sapa Rifka lalu duduk di samping Eric.
“Ngapain lo ke sini?” tanya Eric.
“Ehmm…to the point aja yah..sebenarnya Sani masih cinta sama lo, Ric.”
“Cinta apaan? Kalo dia cinta sama gue kenapa dia selingkuh di belakang gue?”
“Aduh..Ric. Sani tuh gak selingkuh. Lo hanya salah paham aja!”
“Kenapa sih lo ngotot banget kalo si Sani gak selingkuh? Lo tuh sama kayak Eva kemaren.” Bentak Eric lalu ingin pergi.
“Tunggu dulu, Ric.” Rifka menghalangi Eric. “Tuh cowok sebenarnya abangnya si Sani.”
“APA??” kaget Eric dan langsung duduk kembali, dunia serasa hampa.
“Makanya elo tuh jadi orang jangan cemburuan. Eric, sebenarnya Sani masih cinta sama lo kalo lo masih cinta sama dia sebaiknya lo minta maaf sama Sani dan minta balikan lagi.”
“Tapi gue udah nyakitin hatinya Sani. Gue takut dia gak nerima gue lagi.”
“Lo kok nyerah gitu sih! Kan lo masih cinta sama si Sani ya, udah sana pasti dia mau nerima lo lagi di hatinya.”
Eric pun menuju kelas Sani untuk meminta maaf pada Sani.
“San..maafin gue , ya!” Eric memohon saat di kelas Sani.
“Ngapain lo ke sini?” Tanya Sani tak mau melihat wajah Eric.

“Gue pengen kita satu lagi kayak dulu”

“Bukannya kita udah putus jadi ya..mau gimana lagi.”
“San, gue janji gue bakal berubah kalo elo mau balik lagi ama gue.”
“Janji?” tanya Sani.
“Gue janji.” Eric berjanji.
“Akhirnya kalian nyatu lagi kayak dulu.” Muncul Rifka dengan tersenyum.
“Semoga kalian tetep satu, ya.” Ucap Eva mendoakan.
“Amiii…nn!” serentak Eric, Sani N’ the Genk.
“Thanks yua Rif-Va, karma lo gue bisa balikan lagi ma Eric.”
“Sama-sama!” serentak Rifka dan Eva tersenyum.
Ini semua karena mereka..karena sahabatku. Mereka begitu peduli terhadap kisah asmaraku. Oh..sahabatku semoga kau tetap di dekatku.

*****

By: Fransiskus Sia Muliardi S.